BEYOURS.ID-Dalam era modern ini, di mana dunia semakin terhubung dan ilmu pengetahuan berkembang pesat, mengapa kita masih menyaksikan pertengkaran yang berakar pada perbedaan agama dan keyakinan? Apakah perbedaan ini begitu sulit untuk dipahami dan dihormati? Bukankah agama-agama mengajarkan nilai-nilai kedamaian, kasih sayang, dan persaudaraan? Mengapa kita malah sibuk mencari-cari perbedaan untuk dipertentangkan?
Pertanyaan ini seharusnya menggugah kesadaran kita bahwa pertengkaran antar agama dan keyakinan bukanlah sesuatu yang sejalan dengan ajaran luhur setiap agama. Sebaliknya, agama datang sebagai penuntun manusia menuju kebaikan, bukan untuk menanamkan kebencian dan permusuhan.
Hakikat Manusia: Gambar Tuhan di Bumi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Agama-agama besar di dunia, termasuk Islam, Kristen, dan Yahudi, mengajarkan bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan yang mulia. Dalam Islam, disebutkan dalam sebuah hadis:
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُورَتِهِ
“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam rupa-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini sering ditafsirkan bukan dalam arti literal, tetapi sebagai penegasan bahwa manusia diciptakan dengan membawa fitrah ketuhanan—nilai-nilai kemuliaan, akal, dan hati nurani. Dalam kitab suci agama lain pun terdapat konsep serupa, bahwa manusia adalah “gambar Tuhan” di bumi. Ini berarti, setiap manusia, apa pun agama dan keyakinannya, memiliki kehormatan dan nilai yang sama di mata Tuhan. Maka, mengapa kita masih saling merendahkan, mencaci, bahkan berkonflik karena perbedaan keyakinan?
Refleksi tentang Persaudaraan Sejati
Ali bin Abi Thalib, salah seorang tokoh utama dalam Islam, pernah berkata:
الناس صنفان: إما أخ لك في الدين وإما نظير لك في الخلق
“Manusia itu ada dua golongan: saudaramu dalam iman atau setara denganmu dalam penciptaan.”
Kalimat ini menggambarkan filosofi universal tentang persaudaraan manusia. Kita mungkin berbeda dalam keyakinan, tetapi kita tetap satu dalam kemanusiaan. Tidak ada satu agama pun yang mengajarkan umatnya untuk merasa lebih unggul dan berhak merendahkan yang lain. Sebaliknya, setiap agama mengajarkan pentingnya saling menghormati dan mencintai sesama manusia.
Mengapa Kita Bertengkar?
Lalu, mengapa pertengkaran tetap terjadi? Beberapa alasan mendasar meliputi:
1. Kesalahpahaman dan Kurangnya Pendidikan
Banyak konflik lahir karena ketidaktahuan dan stereotip. Orang yang memahami ajaran agamanya dengan benar tidak akan mudah terprovokasi oleh narasi kebencian.
2. Kepentingan Pribadi dan Politik
Terkadang, agama dijadikan alat oleh segelintir pihak untuk mencapai kepentingan pribadi, politik, atau ekonomi. Perbedaan keyakinan dieksploitasi untuk memecah belah dan menguasai.
3. Fanatisme yang Berlebihan
Fanatisme buta terhadap suatu kelompok atau pemahaman agama dapat menutup pintu dialog dan toleransi. Padahal, Islam sendiri melarang sikap berlebihan:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا
“Dan demikianlah Kami jadikan kamu sebagai umat pertengahan.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Membangun Kesadaran Baru
Di tengah era globalisasi dan Industri 4.0, kita memiliki peluang besar untuk mengubah paradigma lama. Teknologi informasi memungkinkan kita untuk memahami keberagaman dengan lebih baik. Namun, sayangnya, media sosial sering menjadi lahan subur bagi penyebaran kebencian. Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk memanfaatkan teknologi sebagai sarana menyebarkan pesan damai dan inklusivitas.
Dalam konteks ini, setiap individu memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan lingkungan yang damai. Dimulai dari diri sendiri, keluarga, dan komunitas, kita dapat menanamkan nilai-nilai toleransi. Ingatlah bahwa setiap kata dan tindakan kita dapat memengaruhi orang lain.
Jalan Menuju Perdamaian
Untuk menghentikan konflik karena perbedaan agama dan keyakinan, kita perlu menghidupkan kembali semangat dialog dan saling menghormati. Rasulullah SAW telah memberikan teladan dalam hal ini. Beliau tidak pernah memaksakan agama Islam kepada orang lain. Dalam sebuah perjanjian dengan kaum non-Muslim di Madinah, Rasulullah SAW menekankan pentingnya hidup berdampingan dengan damai:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)
Ayat ini tidak hanya menegaskan kebebasan beragama, tetapi juga mencerminkan sikap saling menghormati perbedaan.
Akhiran , Konflik antaragama adalah cerminan dari jauhnya kita dari fitrah kemanusiaan. Jika kita benar-benar memahami bahwa setiap manusia adalah ciptaan Tuhan, seharusnya tidak ada lagi ruang untuk kebencian dan permusuhan. Perbedaan adalah sunatullah—kehendak Tuhan yang harus kita terima dengan lapang dada.
Mari kita berhenti bertengkar karena agama dan keyakinan. Sebaliknya, marilah kita bersama-sama membangun dunia yang lebih damai dan penuh kasih sayang. Seperti dawuh Ali bin Abi Thalib: jika bukan saudara dalam iman, kita tetap saudara dalam kemanusiaan.
Oleh: Zaenol Hasan (Dosen STIS dan Ma’had Aly Nurul Qarnain Jember)