BEYOURS.ID — Ada kalanya dalam hidup, kita bertanya: haruskah kita mengabaikan perilaku toxic dan abusive dari pasangan atau keluarga, atau sebaliknya, harus segera bertindak? Mengabaikan masalah mungkin terasa lebih mudah, menghindari konflik dan menjaga harmoni sesaat, namun dampak jangka panjangnya bisa sangat merusak. Islam mengajarkan bahwa keharmonisan bukan hanya soal menghindari pertikaian, tetapi juga meluruskan kesalahan demi kebaikan bersama.
Dalam konteks ini, Allah berfirman dalam Surat Al-Muzammil ayat 10-11:
> وَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًۢا جَمِيلًا وَذَرْنِى وَٱلْمُكَذِّبِينَ أُو۟لِى ٱلنَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيلًا
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkan mereka dengan cara yang baik. Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan itu, yaitu orang-orang yang mempunyai kemewahan, dan berilah mereka penangguhan sebentar.” (QS. Al-Muzammil: 10-11)
Ayat ini mengisyaratkan dua prinsip dalam menghadapi perilaku buruk: bersabar dan meninggalkan dengan cara baik, tetapi juga menyerahkan segala bentuk kedzaliman kepada Allah. Menurut tafsir klasik seperti Tafsir Ibnu Katsir, “tinggalkan dengan cara yang baik” berarti menjauh dari mereka yang menimbulkan mudarat, menjaga diri dari kerusakan yang mereka sebabkan, namun tidak berarti berdiam diri tanpa ikhtiar untuk mencegah kerusakan. Dalam konteks keluarga, pendekatan ini bisa berarti menghindari perilaku toxic tanpa mengabaikan upaya memperbaikinya.
Perilaku toxic dalam keluarga tidak bisa dipandang remeh. Dalam ajaran Islam, keluarga adalah unit terkecil sekaligus paling penting dalam masyarakat, di mana setiap anggotanya diikat oleh nilai-nilai sakinah, mawaddah, dan rahmah. Jika salah satu anggota terjebak dalam perilaku abusive atau toxic, maka nilai-nilai tersebut terancam runtuh. Ketika pasangan atau orang tua menunjukkan sikap kasar, manipulatif, atau penuh dominasi, ada sebuah pelanggaran terhadap prinsip dasar dalam Islam, yaitu ta’awun atau saling membantu dalam kebaikan.
Dalam keluarga yang harmonis, komunikasi yang efektif adalah fondasi utama. Islam mengajarkan pentingnya berbicara dengan qaulan ma’rufa atau perkataan yang baik. Namun, jika komunikasi tersebut berubah menjadi senjata yang menghancurkan, maka keluarga perlu menyikapi dengan tindakan yang tegas. Rasulullah SAW pun mengajarkan bahwa seorang suami atau istri seharusnya menjadi sahabat dalam suka dan duka, bukan sumber ketakutan atau kesedihan.
Jika menghadapi situasi toxic, upaya memperbaiki akhlak dan mengingatkan kebaikan sangat dianjurkan. Pendekatan islah atau rekonsiliasi, misalnya, bisa dilakukan melalui konseling keluarga atau meminta nasihat dari ulama. Ini penting agar keluarga tetap terjaga dari perilaku destruktif yang merugikan semua anggotanya. Ketika satu sisi keluarga berusaha memperbaiki, maka sisi lainnya harus menyambut dengan lapang dada. Upaya preventif ini tidak hanya menjaga hubungan, tetapi juga memperkuat fondasi cinta dan saling pengertian.
Namun, tidak selamanya diam adalah emas. Mengabaikan perilaku toxic atau abusive dengan alasan “sabar” sering kali disalahartikan sebagai penerimaan. Padahal, kesabaran dalam Islam bukan berarti menerima segala bentuk keburukan, tetapi bersikap tegar sambil mencari jalan keluar yang baik. Mengutip ulama tafsir lain seperti Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, ayat di atas juga menekankan bahwa bersabar berarti memupuk ketabahan sambil tetap menjaga kewaspadaan terhadap hal-hal buruk. Kesabaran ini menuntut kita agar tidak gegabah dalam bertindak, namun tetap bersikap proaktif dalam mencegah kerusakan lebih lanjut.
Seorang istri atau suami yang menyaksikan pasangannya terjerumus dalam perilaku toxic punya kewajiban moral untuk menegur dengan cara yang bijaksana. Begitu pula anak-anak yang mengalami kekerasan dari orang tua harus diberikan ruang untuk mengadu dan mendapat perlindungan yang layak. Di sini, pendekatan syariah menuntut adanya keseimbangan antara menegur dan menjaga kedamaian, antara sabar dan tindakan tegas demi kebaikan bersama.
Tak hanya itu, Islam juga melindungi hak-hak tiap anggota keluarga dengan memberikan aturan yang jelas tentang kewajiban seorang suami, istri, dan orang tua. Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya.” Hadis ini mengandung makna dalam bahwa ukuran akhlak seseorang terletak pada bagaimana ia memperlakukan keluarganya. Tidak ada tempat bagi kekerasan, intimidasi, atau manipulasi dalam sebuah keluarga yang harmonis.
Langkah yang bisa dilakukan oleh keluarga adalah dengan menghidupkan semangat kebersamaan melalui doa dan ibadah bersama. Ibadah bersama seperti salat berjamaah atau membaca Al-Qur’an tidak hanya mempererat hubungan antar anggota keluarga, tetapi juga menjadi sarana introspeksi dan pengingat tentang nilai-nilai spiritual yang harus dijaga. Dengan demikian, keluarga akan lebih mudah menyikapi konflik secara bijak dan terhindar dari sifat-sifat buruk.
Apabila segala upaya perbaikan telah dilakukan dan toxic behavior tetap tidak berubah, maka Islam mengizinkan opsi pisah sebagai jalan terakhir. Ini untuk melindungi anggota keluarga dari kerusakan lebih lanjut. Prinsip Islam adalah mencegah keburukan yang lebih besar daripada mempertahankan sesuatu yang hanya menambah beban. Perpisahan mungkin terlihat seperti kegagalan, tetapi kadang kala ia adalah jalan untuk mencapai kedamaian.
Pada akhirnya, memilih untuk bersikap preventif terhadap perilaku toxic adalah langkah tepat dalam membangun keluarga harmonis sesuai ajaran Islam. Tidak ada tempat bagi perilaku abusive dalam sebuah keluarga yang ingin mencapai ridha Allah. Setiap anggota keluarga punya tanggung jawab bersama untuk menjaga lingkungan rumah yang sehat, bebas dari sikap kasar, dan penuh kasih sayang. Dan, seperti yang tertuang dalam ayat Al-Muzammil, kesabaran dalam menghadapi kedzaliman bukan berarti menyerah pada perilaku buruk, melainkan mengupayakan solusi yang terbaik agar keluarga bisa hidup dalam ketenangan dan kedamaian.
Penulis : Saini, Dosen STIS Nurul Qarnain Jember