BEYOURS.ID – Dalam kehidupan sehari-hari, tokoh masyarakat sering dianggap sebagai suara kebijaksanaan yang patut diikuti tanpa banyak bertanya. Bagi beberapa orang, pendapat mereka adalah fondasi yang kokoh untuk berpijak di tengah kerumitan persoalan sosial, budaya, atau moral. Namun, hal ini berbanding terbalik dengan salah satu disiplin ilmu, filsafat.
Filsafat, Sebagai pencarian tanpa henti terhadap kebenaran, justru mengingatkan kita bahwa tidak ada gagasan yang sepenuhnya kebal terhadap kritik dan evaluasi. Dalam kerangka ini, pendapat tokoh masyarakat seharusnya tidak diikuti secara membuta, melainkan diuji secara kritis untuk memastikan kebenaran dan relevansinya.
Socrates, filsuf besar Yunani kuno, berkata, “Hidup yang tidak diuji tidak layak untuk dijalani.” Dalam pernyataan ini terkandung pesan, bahwa manusia tidak boleh menelan bulat-bulat pendapat, tak peduli seberapa tinggi posisi sosial atau intelektual pengucapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Filsafat menekankan, setiap gagasan, termasuk dari tokoh masyarakat, perlu dipertanyakan, diperdebatkan, dan diuji secara logis. Pendekatan semacam ini bukanlah bentuk penghinaan, melainkan bagian dari upaya untuk menemukan kebenaran yang lebih murni.
Di sisi lain, filsuf Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason, mengingatkan kita bahwa manusia harus bertindak berdasarkan prinsip yang ia sadari dan yakini, bukan sekadar menerima otoritas eksternal tanpa pertimbangan.
Ketika masyarakat menerima pendapat tokoh tanpa diskusi, ada risiko mereka hanya mengikuti alur tanpa benar-benar memahami atau menyaring gagasan tersebut. Dalam banyak kasus, pengaruh tokoh masyarakat bisa menjadi penghambat inovasi dan pembaruan karena masyarakat terjebak dalam pola pikir lama.
Selain itu, tradisi filsafat sangat anti terhadap dogma. Dalam The Open Society and Its Enemies, Karl Popper menjelaskan, pentingnya masyarakat terbuka yang bersedia menerima kritik dan diskusi. “Kemajuan hanya mungkin terjadi jika kita berani mempertanyakan apa yang sudah ada,” tulis Popper.
Artinya, ketika pendapat tokoh masyarakat diterima begitu saja, masyarakat berpotensi menciptakan iklim di mana perubahan sulit terjadi. Untuk menjaga dinamika kehidupan sosial, filsafat mendorong pentingnya menciptakan ruang dialog yang memungkinkan gagasan baru berkembang, meski bertentangan dengan pandangan tokoh-tokoh besar.
Namun, filsafat juga tidak menganjurkan penolakan buta terhadap tokoh masyarakat. Mengutip John Stuart Mill dalam On Liberty, “Kebebasan yang sejati adalah keberanian untuk mendengarkan dan memperdebatkan, bukan untuk menutup telinga.”
Oleh karena itu, kritik terhadap pendapat tokoh masyarakat harus dilakukan dengan penuh kehormatan dan tetap menghargai pengalaman yang mereka miliki. Akan tetapi, penghormatan tidak sama dengan kepatuhan buta.
Dalam masyarakat yang sehat, pendapat tokoh masyarakat hanyalah satu bagian dari dialog besar. Sebagaimana dipahami oleh filsafat, kebijaksanaan kolektif tidak dimonopoli oleh satu orang atau sekelompok kecil individu, melainkan lahir dari perdebatan, refleksi, dan penolakan terhadap asumsi-asumsi yang dianggap tak tergoyahkan.
Tokoh masyarakat punya peran penting, tetapi mereka tetap manusiawi, rentan terhadap bias, dan harus terbuka terhadap evaluasi kritis. Dengan demikian, hanya dengan keterbukaan terhadap kritik dan dialog, pendapat mereka bisa menjadi lebih berharga dan relevan bagi semua.